Jangan Terlalu Cepat Menghakimi

Dalam perjalanan kehidupan sehari-hari, kita sering kali berjumpa dengan hal-hal, yang menurut pandangan kita, tidak sesuai dengan apa yang kita pahami. Baik itu dalam hal sosial kemasyarakatan, maupun dalam hal agama. Perbedaan pandangan ini tidaklah ujug-ujug menjadikan kita punya hak untuk mengklaim bahwa mereka salah, bid’ah, bahkan sesat. Hal semacam ini pernah terjadi beberapa waktu yang lalu dalam sebuah taushiyah di mushalla kantor tempat saya bekerja. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa setiap selesai shalat ashar berjama’ah, akan ada seorang Ustadz yang sengaja diundang untuk memberikan taushiyah singkat.

Dalam taushiyah sore itu, sang Ustadz berbicara tentang keutamaan shalat witir. Setelah panjang lebar ia mengupas keutamaannya, ia menyampaikan surah-surah pendek yang lazim dibaca oleh Rasulullah dalam shalat tersebut. Beliau menyampaikan bahwa Rasulullah dalam shalat witir sering membaca surah al-A’la di rakaat pertama, surah al-Kafirun di rakaat kedua dan surah al-Ikhlas di ketiga.

Sejauh yang ia sampaikan ini, awalnya tidak ada yang aneh. Namun, kejanggalan mulai terjadi, saat ia mengklaim hanya ayat ini yang dibaca Rasulullah. Sedangkan orang yang menggabungkan bacaan surah al-Ikhlas dengan surah al-Muawwizatain (al-Falaaq dan an-Naas) pada rakaat ketiga adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya, bid’ah, sesat.